[Dayilmu.blogspot.com]
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk
shalat Jumat saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur
di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di
dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara
pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha
setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan,
pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang
asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop,
barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis
seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional
sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu
tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi
informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada
orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran bapak tua dengan
dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih
yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju
masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju
masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.
Kemarin ketika hendak shalat
Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur.
Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun
sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar
ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan
hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya
berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”,
jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang
isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya
cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di
dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita,
tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha
menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya
beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.
Bapak itu terlihat gembira
karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan
sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke
dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan
bungkusan amplop ke dalam kotak.
Saya bertanya kembali kenapa dia
menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung
tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin
hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar
kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota
pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil
sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk
satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu
mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga
dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak
tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual
sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli
nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop
banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh
bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli
nasi.
Setelah selesai saya bayar
Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak
lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli
makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar
sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya
segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan
untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang
teman di fesbuk yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang
dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan
warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli
barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini.
Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan
lengkap….”.
Si bapak tua penjual amplop
adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang
barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk
membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan
mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual
oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi
dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya,
karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan
hidup mereka.
Dalam pandangan saya bapak tua
itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman,
meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan
anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua
tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya
tidak seberapa itu.
Di kantor saya amati lagi
bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar
saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang
sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.
Kotak amplop yang berisi 10
bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti
saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya
saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun
di depan dagangannya yang tak laku-laku.
Lanjutan Kisah “Bapak Tua
Penjual Amplop Itu”
Posted on 28
November 2011
Tulisan saya yang terdahulu yang
berjudul Bapak Tua Penjual Amplop Itu ternyata mendapat respon yang
luar biasa dari pembaca. Setelah saya lihat statistik di Worpress
ternyata tulisan tersebut sudah dibaca puluhan ribu kali dan tanggapan
komentar hingga hari ini mencapai 336 buah. Saya sendiri tidak menyangka
atas respon yang luar biasa tersebut, sebab tulisan ini hanyalah
sekadar catatan kecil yang biasa saya tulis dari pengalaman yang saya
temui.
Banyak yang bertanya kepada saya
bagaimana caranya memberikan sedekah atau sumbangan buat bapak tua itu.
Saya sendiri juga belum tahu teknis pengumpulan dan pemberian sedekah
tersebut, karena maksud tulisan tersebut bukanlah untuk mengumpulkan
infaq/shadaqoh buat si bapak. Pertanggungjawabannya nanti juga agak
susah, tetapi yang lebih saya khawatirkan (mudah-mudahan saja tidak
terjadi) adalah perubahan sikap si bapak yang karena sedekah yang
berturut-turut tersebut khawatir membuat dia salah menafsirkan sehingga
timbul sikap “mengemis” belas kasihan dengan menjual amplop.
Mudah-mudahan tidak begitu ya,
tetapi mohon maaf saya belum bisa menyalurkan sumbangan, silakan
salurkan sedekah ke lembaga amil terdekat dari Masjid Salman seperti
Rumah Amal Salman ITB atau PKPU. Saya tetap punya pendapat bahwa cara
terbaik membantu bapak itu adalah membeli jualannya, kalaupun melebihkan
uang pembelian tidak apa-apa. Untuk urusan modal usaha dan perbaikan
taraf hidup si bapak, biarlah itu tugas lembaga amil zakat tadi.
Kalaupun anda jauh dari Bandung dan tidak bisa membeli amplopnya, anda
masih bisa membeli dagangan orang-orang dhuafa di lingkungan terdekat
anda. Masih banyak orang kecil lainnya dis ekitar kita yang membutuhkan
perhatian. Tetapi sekali lagi, terima kasih atas semua niat baik,
mudah-mudahan Allah SWT sudah membalas niat baik itu dengan pahala.
Seorang mahasiswa ITB aktivis
Masjid Salman ITB, Romi Hardiyansyah, mencoba menemui bapak penjual
amplop dan mewawancarainya di kantor Rumah Amal Salman ITB. Laporan
wawancaranya itu dia muat di akun fesbuknya. Saya minta izin memuat
hasil wawancara itu di dalam blog ini, sebagai informasi yang lebih
lengkap tentang bapak penjual amplop. Banyak yang masih penasaran
seperti apa bapak itu dan bagaimana hidupnya. Yang jelas bapak tua itu
masih setia berjualan di depan gerbang kampus ITB atau di depan gerbang
Masjid Salman, tidak hanya hari Jumat tetapi sekali-sekali pada hari
yang lain.
Di bawah ini tulisan Romi
Hardiyansyah yang dimuat di dalam
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150390709462123
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Bapak Penjual Amplop
Setelah membaca catatan dari
salah seorang dosen ITB melalui website pribadinya, saya mencoba
menggali lebih dalam tentang bapak penjual amplop ini. Yang saya tahu
bahwa bapak ini hanya berjualan setiap hari jumat saja di pintu masuk
Komplek Masjid Salman-ITB. Namun, ketika hari selasa saya mendapatkan
laporan dari salah seorang rekan bahwa bapak penjual amplop ini
menjajakan dagangannya di salah satu gerbang keluar ITB. Saya tidak
menemuinya karena jadwal kuliah yang padat. Barulah ketika rabu, 23
Nopember 2011, sepulang kuliah sekitar pukul 12.00, saya menemuinya di
tempat biasa ia menjajakan amplop-amplopnya, yaitu di depan pintu masuk
Komplek Masjid Salman-ITB. Saya berniat untuk menemuinya setelah saya
melaksanakan shalat zhuhur.
Sekitar pukul 13.00, saya dan
Kang Dadan (karyawan Rumah Amal Salman-ITB) bergegas menuju pintu masuk
Komplek Masjid Salman-ITB. Kang Dadan ada keperluan untuk menyampaikan
amanah infaq salah seorang jamaah di Jakarta kepada beliau sementara
saya memang berkeperluan untuk bercakap-cakap dan membeli amplopnya.
Kami meminta beliau merapikan dagangannya dan mau berbincang-bincang
dengan kami di salah satu ruangan di kantor Rumah Amal Salman-ITB.
Alhamdulillah beliau mau dan segera mengemas amplop-amplopnya. Selama
mengemas amplop-amplopnya, kami menerima banyak komentar dari para
pedagang-pedangang lain di sekitar.
Menurut para pedagang, tidak
sedikit orang yang membeli satu atau dua amplop tapi dibayar seharga Rp
5.000, Rp 20.000, bahkan Rp 50.000. Si Bapak justru sering berkata
kepada para pembeli bahwa uang yang diberikannya kelebihan. Namun, para
pembeli mengatakan agar diambil saja lebihnya.
Setelah bercakap-cakap dengan
para pedagang sekitar, si Bapak ini pun siap untuk kami ajak ke kantor.
Ia membawa tas besarnya pada bahu sebelah kiri dan menjinjing plastik
berisi amplop dengan tangan kanannya. Tibalah kami di salah satu ruangan
di kantor Rumah Amal Salman-ITB dan mulailah percakapan kami.
Sebenarnya selama perjalanan ke rumah amal pun kami bercakap-cakap di
jalan.
Namanya Suhud, lahir di
Tasikmalaya 76 tahun yang lalu. Ayahnya asli Tasikmalaya sedangkan
Ibunya asli Kuningan. Bapak yang sudah hidup tiga perempat abad ini suka
merantau kesana kemari semasa mudanya hingga sekarang tinggal menetap
bersama anak terakhir dan cucunya di Manggahan, Dayeuh Kolot. Pak Suhud
memiliki tiga orang anak yang semuanya laki-laki semua. Anak pertama dan
keduanya tidak tinggal bersama Pak Suhud. Semua anaknya memiliki
keterbatasan dalam ekonomi sehingga jika beliau menggantungkan diri
kepada anaknya, tentu akan susah. Dari sinilah beliau memutuskan untuk
berdagang di usianya yang sudah renta.
Pak Suhud sehari-harinya
berjualan amplop. Ya, amplop. Ia hanya berjualan amplop, tidak dengan
yang lain. Pak Suhud menjajakan amplop-amplopnya di Pasar Simpang Dago
dari pagi sampai siang kemudian dilanjutkan menjajakan amplop-amplopnya
di pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Selain itu, Pak Suhud juga
menjajakan amplopnya di Sukajadi, Kebun Binatang, dan tempat-tempat
lainnya. Beliau baru sekitar sebulan yang lalu menjajakan dagangannya di
Salman.
Amplop-amplop tersebut ia ambil
dari tetangganya. Kemudian Pak Suhud akan menerima upah sesuai dengan
banyaknya amplop yang bisa ia jual. Setoran tersebut tidak dibatasi
waktu, boleh kapan saja. Jika pembeli sedang sepi, boleh jadi hari itu
tidak setor dulu sampai dengan banyak amplop yang terjual.
Pak Suhud memulai usaha ini dari
2001. Namun karena usianya yang sudah renta, 10 tahun tersebut tidak
semuanya digunakan untuk berjualan amplop, terkadang jika sedang capai,
ia tidak berangkat mencari nafkah. Sebelum berjualan amplop, Pak Suhud
berjualan sayur mayur. Istri Pak Suhud meninggal dunia 6 tahun yang lalu
sehingga penghasilan yang beliau dapatkan murni beliau gunakan untuk
keperluan hidup beliau sehari-hari. Ketiga anaknya mengetahui bahwa
ayahnya ini berjualan amplop untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Pak Suhud berangkat dari
rumahnya di Dayeuh Kolot sekitar pukul 03.30 dan pulang menuju rumahnya
sekitar pukul 14.00. Beliau menggunakan angkutan perkotaan atau bis kota
sebagai sarana transportasinya. Beliau mengatakan lama perjalanan bisa
sampai dua atau tiga jam. Sungguh, perjuangan yang sangat hebat bagi
laki-laki paruh baya ini.
Penghasilan Pak Suhud
sehari-hari jelas tidak menentu. Terkadang tidak ada satu pun amplop
yang terjual sehingga untuk kembali pulang ia biasanya meminjam uang
pada pedagang-pedagang sekitar dan berjanji akan menggantinya jika nanti
amplopnya ada yang membeli. Tetangga yang menjadi tempat setornya tidak
mempermasalahkan akan keterlambatan setoran, jelas beliau. Beliau
menambahkan ongkos pergi-pulangnya tiap hari sebesar Rp 12.000, padahal
penghasilannya tiap hari belum tentu sebesar itu. Pada siang hari, Pak
Suhud biasa makan di tempat makan yang beliau katakan murah harganya.
Pemilik rumah makan sering mengatakan bahwa jika beliau ingin makan,
silakan datang saja tanpa perlu membayar.
Beliau mengambil 100 amplop dari
tetangganya seharga Rp 7.500 dan ia menjualnya seharga Rp 10.000.
Artinya, untuk 100 amplop yang terjual, ia hanya mendapatkan untung Rp
2.500 saja. Jika dipikir-pikir, siapa yang mau membeli amplop sebanyak
itu? Kalau pun ada yang membelinya, keuntungan yang beliau peroleh jelas
tidak bisa digunakan untuk makan nasi sekalipun. Allahu a’lam. Ketika
ditanya kenapa memilih berjualan amplop, ia hanya menjawab sngkat saja,
karena amplop ringan, masih bisa beliau bawa dibandingkan jika beliau
berdagang yang lainnya.
Karena usianya yang sudah tua,
tentu fisiknya pun tidak lagi seperti anak muda. Pak Suhud mengatakan
bahwa matanya kini telah kurang awas (rabun), pendengarannya kurang
berfungsi dengan baik, dan dadanya sering pengap. Saya memerhatikan,
beliau berbicara dengan suara yang lirih sekal dan tangan yang
benar-benar gemetar baik di kala berbicara, di kala merapikan
amplop-amplopnya, di kala membawa tas, dan lainnya.
Dalam keadaan yang seperti itu,
Pak Suhud tetap tegar untuk menjaga kehormatannya dengan tidak
meminta-minta. Begitu pula yang dikomentarkan para pedagang di sekitar
pintu masuk Komplek Masjid Salman-ITB. Mereka menambahkan, banyak yang
badannya masih bujangan, perkasa, gagah, dan kuat, namun meminta-minta.
Kami menutup pembicaraan siang itu dengan menyampaikan amanah infaq dari
Rumah Amal Salman-ITB.
Sebenarnya, ketika awal sampai
akhir perbincangan saya berusaha menahan air mata agar tidak keluar
karena mendengar suara Pak Suhud yang begitu lirih dan tangannya yang
gemetaran. Terima kasih Pak Suhud. Darimu, saya belajar sebuah
perjuangan..
Semoga kelapangan dan keberkahan
rezeqi menyertaimu Pak. Dan Allah, tidak akan menyiakan
hamba-hamba-Nya..
Bandung, 23 Nopember 2011
Romi Hardiyansyah
0852 842 39760/aemrum@gmail.com
Sumber :
0 comments
Post a Comment
Mari tinggalkan komentar yang baik dan benar