[Dayilmu.blogspot.com]
Marah itu tidak baik. Bahkan mungkin marah itu adalah dosa. Namun dalam mendidik anak, banyak yang mengatakan marah itu perlu. Hmmm… Apakah anda bingung? Saya tidak akan menjawab pertanyaan itu dengan teori-teori psikologi, karena saya memang tidak ahli dalam hal itu. Saya menjawab pertanyaan ini cukup dengan sebuah kisah di masa kecil saya, saat saya masih nakal-nakalnya. Pada saat saya masih duduk di bangku SD, setelah pulang sekolah, saya minta ijin kepada sopir antar jemput saya. Saya meminta ijin untuk tidak pulang bersama sopir antar jemput saya. Saya berkata kepada sopir antar jemput saya bila saya tidak pulang bersamanya, karena saya ada acara bersama teman-teman di sekolah. Karena saya mengatakan hal itu dengan sangat serius, maka dia pun percaya, dan meninggalkan saya di sekolah.
Cobalah sekarang anda bertanya kepada diri anda sendiri. Bila anda
bertanya kepada buah hati anda,”Kenapa kamu tidak mau mendapatkan nilai
jelek di sekolah?” Sudahkah buah hati anda menjawab,”Karena saya ingin
selalu menyenangkan hati bunda dan tidak ingin mengecewakan bunda.”
Ataukah buah hati anda cukup menjawab,”Karena saya takut bunda marah.”
Janfan resah jangan kawatir, dengan mendidik sebenarnya kita pun telah
dididik. Terus belajarlah untuk mendidik, agar kita pun semakin dididik.
sumber
Marah itu tidak baik. Bahkan mungkin marah itu adalah dosa. Namun dalam mendidik anak, banyak yang mengatakan marah itu perlu. Hmmm… Apakah anda bingung? Saya tidak akan menjawab pertanyaan itu dengan teori-teori psikologi, karena saya memang tidak ahli dalam hal itu. Saya menjawab pertanyaan ini cukup dengan sebuah kisah di masa kecil saya, saat saya masih nakal-nakalnya. Pada saat saya masih duduk di bangku SD, setelah pulang sekolah, saya minta ijin kepada sopir antar jemput saya. Saya meminta ijin untuk tidak pulang bersama sopir antar jemput saya. Saya berkata kepada sopir antar jemput saya bila saya tidak pulang bersamanya, karena saya ada acara bersama teman-teman di sekolah. Karena saya mengatakan hal itu dengan sangat serius, maka dia pun percaya, dan meninggalkan saya di sekolah.
Setelah itu, saya bersama
teman-teman sekolah saya segera bermain ke rumah salah seorang teman
saya. Di sana saya bermain Video Game. Karena saking asyiknya bermain,
saya tidak sadar kalau jarum jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Maka
saya pun segera pulang dari rumah teman saya tersebut. Saya pulang
menggunakan bus kota. Saat itu saya menunggu bus lama sekali, hingga
pukul enam petang. Tidak seperti biasanya saya menunggu bus yang
jalurnya melewati rumah saya dengan segitu lamanya.
Saya sampai di rumah hampir
pukul tujuh malam. Saat saya berada tepat di depan pintu rumah, hati
saya dag dig dug tidak karuan. Saya yakin, kalau Ayah dan Bunda saya
pasti akan marah saat menemui saya pulang dari sekolah hingga pukul
tujuh malam. Benar dugaan saya, tidak lama setelah saya mengetuk pintu
rumah, saya melihat bunda membuka pintu. Ternyata beliau sudah menunggu
tepat di depan pintu.
Setelah itu, Bunda langsung
memarahi saya. Beliau menanyakan pada saya macam-macam dengan nada yang
lumayan keras. Tidak biasanya bunda marah hingga seperti itu. Saya pun
menangis pada saat saya dimarahi. Saya bisa merasakan kekhawatiran bunda
saya saat menunggu saya di rumah hanya dengan kabar dari sopir bila
saya ada acara di rumah teman. Saya tidak merasakan sakit di dalam hati
saya meski bunda memarahi saya. Justru du lubuk hati saya yang paling
dalam, ada perasaan sangat menyesal.
Tidak lama setelah bunda
marah-marah, bunda langsung menyuruh saya untuk mandi dan makan malam.
Walaupun bunda marah, beliau tetap bersedia memghangatkan sayur dan
menyiapkan lauk pauk di meja makan. Selesai mandi, saya pun langsung
makan malam. Saat itu, saya makan malam sendirian. Saat saya makan, saya
tahu bila bunda sedang berada di dalam kamar. Entah apa yang beliau
lakukan di sana. Saya berpikir, pasti bunda sudah menyiapkan hukuman
untuk saya.
Setelah selesai makan, saya
segera mencuci piring yang saya gunakan untuk makan. Mungkin karena
mendengar suara saya yang sedang mencuci piring, bunda pun keluar dari
kamar. Bunda pun segera merapikan meja makan yang telah saya gunakan
agar terlihat rapi kembali, dan membersihkan meja dengan kain lap.
Setelah meja terlihat bersih,
dan saya pun telah selesai mencuci piring, bunda mengajak saya untuk
duduk bersama di ruang tengah sambil menonton TV. Pada saat itu, bunda
berkata dengan lembut, meminta saya untuk tidak mengulangi perbuatan itu
lagi. Bunda meminta agar saya tidak boleh bermain di rumah teman hingga
larut malam, karena bunda khawatir, melihat banyak berita di TV bila
banyak anak-anak diculik di TV. Bunda tidak melarang saya bermain
setelah pulang sekolah, asalkan pulang sebelum jam 4 sore. Bunda juga
meminta agar saya mengenalkan teman-teman sekolah saya, dan meminta
nomor telepon rumah teman, tempat saya bermain, sehingga bisa tetap
memonitor saya meskipun bermain di luar rumah dengan jarak yang lumayan
jauh.
Saat itu, saya merasakan bila
bunda saya adalah bunda yang terbaik di dunia. Saya tahu, bila di dalam
kemarahannya ada kasih sayang yang besar kepada saya. Pada saat saya
masih kecil, saya memang suka melakukan kenakalan yang membuat bunda
saya marah. Namun setelah bunda marah, saya selalu merasakan ada kasih
sayang yang besar yang membuat saya menyadari segala kesalahan saya dan
membuat saya untuk tidak melakukan kesalahan dan kenakalan yang sama.
Seiring dengan pertumbuhan kedewasaan saya, saya juga semakin mengerti
alasan kenapa saya tidak mau “neko-neko” dan melakukan kenakalan. Bukan
karena takut membuat bunda marah, namun saya takut melukai hati bunda
dan mengecewakan bunda yang begitu menyayagi saya.
sumber
0 comments
Post a Comment
Mari tinggalkan komentar yang baik dan benar