Ikuti @Dayilmu
Jakarta (voa-islam.com) - http://apresiasi-rofiuddin.blogspot.com/ Banyak pihak yang belum memahami tentang sepak terjang JIL yang gemar mengobok-obok kedamaian umat Islam di Indonesia pada khususnya. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, kaum Yahudi dengan Freemasonry mendukung JIL yang juga sesungguhnya didanai oleh Asia Foundation yang disupport oleh CIA, badan intelejen AS.
Jakarta (voa-islam.com) - http://apresiasi-rofiuddin.blogspot.com/ Banyak pihak yang belum memahami tentang sepak terjang JIL yang gemar mengobok-obok kedamaian umat Islam di Indonesia pada khususnya. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, kaum Yahudi dengan Freemasonry mendukung JIL yang juga sesungguhnya didanai oleh Asia Foundation yang disupport oleh CIA, badan intelejen AS.
Apa itu
Islam liberal dan Mengapa disebut Islam Liberal?
“Islam
liberal” sejatinya pembangkangan diri dan pemikiran melalui gerakan,
yayasan, kantor berita, gerakan politik terhadap islam ala Nabi
Muhammad SAW. Pemikiran Islam (klaim mereka) menekankan kebebasan
pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas.
Tujuan JIL adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya
kepada masyarakat dengan dukungan Yahudi Internasional yang bercokol
kuat di Indonesia dan dukungan pemerintah AS melalui Asia Foundation
yang disokong oleh CIA dan Imperialisme Barat dan kini menguasai
Universitas Paramadina dan UIN Syarif hidayatullah Jakarta.
JIL
lebih mirip kepanjangan imperalisme Barat atas dunia Islam yang
dicarikan bentuk pembenarannya dari khazanah Islam. Dari segi politis,
ada benang merah dengan CIA. JIL yang resmi hadir sekitar Maret 2001—
impact penting yang timbul dari lahirnya gudang pemikiran itu adalah
lahirnya atmosfir ‘ndableg alias konyol’ yang oleh kebanyakan
pengikutnya disebut dengan istilah “kekritisan berfikir”. Mereka
begitu semangat ‘mengkritisi’ Al-Qur’an, menolak beberapa nash
hadits-hadish shahih, serta menuduh para ulama’ sebagai kelompok
konservatif. Dilain pihak, mereka bahkan teramat sibuk bergelut dengan
referensi-referensi liberal. Bacaan-bacaan wajib mereka, kini Tahrirul
Mar’ah milik Qasim Amin, The Spirit of Islam-nya Amir Ali, serta Al
Islam wa Ushul Al Hukmi yang sesungguhnya hanya jiplakan dari tulisan
orientalis Inggris Thomas W. Arnold.
Nama-nama semisal,
Sayid Ahmad Khand, Arkeun, Ali Abdul Razik, Charles Kuzman, Fatimah
Marnissi, Nasir Hamid Abu Zaid dan Fadzlurrahman seolah-olah “kitab
suci” baru yang kini melekat di otak mereka. Di saat yang sama, mereka
mulai tampak malas menelaah Al-Qur’an, bahkan boleh jadi mules (muak,
red) jika mendengar dalil-dalil dari hadits.
Yang jelas, mereka begitu percaya diri dengan identitas itu, dan begitu bangga disebut liberal. Karena dukungan AS, lembaga Islam dikuasai pemikiran liberal, baik Kementerian Agama, Universitas Negeri Islam (UIN), dan sampai tokoh-tokoh politik dan cendekiawan yang dilabelkan pada tokoh Islam Liberal.
Kalau kita
mengamati dengan seksama tentang agenda-agenda JIL, maka kita akan
menemukan korelasi antara imperialisme barat dan agenda JIL. Luthfi
Asy-Syaukanie, salah satu motor JIL pernah menyebut dengan jujur empat
agenda utama lahirnya Islam Liberal. Pertama, agenda politik, Kedua,
agenda toleransi agama, Ketiga, agenda emansipasi wanita, dan Keempat,
agenda kebebasan berekpresi.
Dalam agenda politik, misalnya, kaum muslimin “diarahkan” oleh JIL untuk mempercayai sekularisme, dan menolak sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Dalam agenda plurarisme, kelompok ini menyeru bahwa semua agama adalah benar, tidak boleh ada truth claim. Agenda emansipasi wanita, seperti menyamaratakan secara absolut peran atau hak pria dan wanita tanpa kecuali, dan agenda kebebasan berekspresi, seperti hak untuk tidak beragama, tak jauh bedanya dengan agenda politik di atas. Semua ide-ide ini pada ujung-ujungnya, pada muaranya, kembali kepada ideologi dan kepentingan imperialis.
Adian Husaini dan Nuim Hidayat menandaskan, Karena itu, sulit sekali-untuk untuk tidak mengatakan --minimal mustahil-- mencari akar pemikiran-pemikiran tersebut dari Islam itu sendiri secara murni, kecuali setelah melalui pemerkosaan teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya teologi pluralisme yang menganggap semua agama benar, sebenarnya berasal dari hasil Konsili Vatikan II 1963-1965) yang merevisi prinsip extra ecclesium nulla salus (di luar Katolik tak ada keselamatan) menjadi teologi inklusif-pluralis, yang menyatakan keselamatan dimungkinkan ada di luar Katolik. (Islam Liberal: "Sejarah, Konsepsi dan Penyimpangannya", Adian Husaini dan Nuim Hidayat).
Selain itu, dari kerangka ideologi, ide-ide JIL sendiri, dapatlah kiranya dinyatakan sebagai ide-ide kapitalisme. Luthfi Asy-Syaukanie dalam bukunya Wajah Liberal Islam di Indonesia (2002) telah berhasil menyajikan deskripsi dan peta ide-ide JIL. Jika dikritisi, kesimpulannya adalah di sana ada banyak contekan sempurna terhadap ideologi kapitalisme.
Dalam agenda politik, misalnya, kaum muslimin “diarahkan” oleh JIL untuk mempercayai sekularisme, dan menolak sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Dalam agenda plurarisme, kelompok ini menyeru bahwa semua agama adalah benar, tidak boleh ada truth claim. Agenda emansipasi wanita, seperti menyamaratakan secara absolut peran atau hak pria dan wanita tanpa kecuali, dan agenda kebebasan berekspresi, seperti hak untuk tidak beragama, tak jauh bedanya dengan agenda politik di atas. Semua ide-ide ini pada ujung-ujungnya, pada muaranya, kembali kepada ideologi dan kepentingan imperialis.
Adian Husaini dan Nuim Hidayat menandaskan, Karena itu, sulit sekali-untuk untuk tidak mengatakan --minimal mustahil-- mencari akar pemikiran-pemikiran tersebut dari Islam itu sendiri secara murni, kecuali setelah melalui pemerkosaan teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya teologi pluralisme yang menganggap semua agama benar, sebenarnya berasal dari hasil Konsili Vatikan II 1963-1965) yang merevisi prinsip extra ecclesium nulla salus (di luar Katolik tak ada keselamatan) menjadi teologi inklusif-pluralis, yang menyatakan keselamatan dimungkinkan ada di luar Katolik. (Islam Liberal: "Sejarah, Konsepsi dan Penyimpangannya", Adian Husaini dan Nuim Hidayat).
Selain itu, dari kerangka ideologi, ide-ide JIL sendiri, dapatlah kiranya dinyatakan sebagai ide-ide kapitalisme. Luthfi Asy-Syaukanie dalam bukunya Wajah Liberal Islam di Indonesia (2002) telah berhasil menyajikan deskripsi dan peta ide-ide JIL. Jika dikritisi, kesimpulannya adalah di sana ada banyak contekan sempurna terhadap ideologi kapitalisme.
Tentu ada
kreativitas dan modifikasi. Khususnya pencarian ayat atau hadits atau
preseden sejarah yang kemudian ditafsirkan secara paksa agar cocok
dengan kapitalisme. Ide-ide besar kapitalisme itu antara lain; (1)
sekularisme, (2) demokrasi, dan (3) kebebasan. Dukungan kepada
sekularisme --pengalaman partikular Barat-- nampak begitu getolnya
mereka melakukan penolakan terhadap bentuk sistem pemerintahan Islam
(khilafah), dan penolakan yang begitu bersemangat terhadap syariat
Islam. Tetapi mereka menerima begitu saja semua gagasan demokrasi
tanpa ada nalar kritis. Istilahnya, mereka cepat-cepat ‘melek’
(terbelalak) jika mengkritisi Islam, tapi buru-buru buta (pura-pura
tak melihat) jika sumber-sumber itu datangnya dari Barat.
Kentalnya ide-ide pokok kapitalisme dan berbagai derivatnya ini, masih ditambah dengan suatu metode berpikir yang kapitalistik pula, yaitu menjadikan ideologi kapitalisme sebagai standar pemikiran. Meminjam bahasa Al Jawi, ide-ide kapitalisme diterima lebih dulu secara taken for granted dan dianggap benar secara absolut, tanpa pemberian peluang untuk didebat (ghair qabli li an-niqasy) dan tanpa ada kesempatan untuk diubah (ghair qabli li at-taghyir). Lalu ide-ide kapitalisme itu dijadikan cara pandang (dan hakim!) untuk menilai dan mengadili Islam.
JIL, Asia Foundation dan CIA
The Asia Foundation adalah LSM raksasa yang markas besarnya di San Fransisco. LSM ini memiliki 17 kantor cabang di seluruh Asia, termasuk Washington, D.C. Tahun 2003 kemarin, The Asia Foundation mengucurkan bantuan sebesar 44 juta USD dan mendistribusikan 750 ribu buku dan materi pendidikan yang nilainya berkisar mencapai 28 juta USD di seluruh wilayah Asia.
Sebagaimana dikutip situs resmi pemerintah AS, http://usinfo.state.gov, Oktober lalu –beberapa hari menjelang Pemilu di Afghan-- lalu, The Asia Foundation, membikin program The Mobile Theater Project, sebuah bioskop keliling. Dengan alasan pendidikan demokrasi --atau lebih tepat kampanye pemaksaan demokrasi— mereka berkeliling kampung untuk memutar film dengan ditonton sekitar 430.000 pemirsa.
Di Indonesia, dalam Pemilu 2004 kemarin, seperti diakuinya di situs http://www.asiafoundation.org/, lembaga ini ikut mendanai JPPR (JPPR atau Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat) dengan mempekerjakan 141.000 relawan dan melakukan training kurang lebih 70 ribu orang. Mereka bisa memanfaatkan radio dengan asumsi 25 juta pendengar, memanfaatkan TV yang ditonton 74 juta pemirsa, juga menguasai media cetak dengan perkiraan dibaca 3 juta orang.
Di Indonesia, keberadaanya sudah ada sejak tahun 1970. Mereka berdiri di balik program-program bernama; training keagamaan, studi gender, HAM dalam Islam, civic education di lembaga-lembaga Islam, pusat pembelaan perempuan untuk Islam (Muslim Women Advocacy), dan isu-isu pluralisme, paralalel dengan program-program JIL.
Jika dilihat berbagai agenda dan kegiatannya selama ini, ada korelasi antara agenda-agenda JIL dengan LSM Raksasa bernama The Asia Foundation.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa kehidupan kelompok ini amat tergantung pada kucuran dana dari The Asia Foundation. Dan karena donor yang amat besar dari LSM ini, maka JIL dalam waktu yang relatif singkat sudah bisa mendirikan Radio satelit pertama di Indonesia, Radio 68H, yang siarannya direlai puluhan pemancar radio di Indonesia, mampu membeli satu halaman penuh koran Jawa Pos, bahkan mampu menayangkan iklan-iklan di televisi dengan durasi yang panjang, semisal iklan “Islam Warna-Warni” yang akhirnya berhenti tayang karena somasi MMI, bahkkan bisa menghidupi kegiata-kegiatan mereka yang membutuhkan biaya besar. Jika ditilik dari sponsor utama (sebut The Asia Foundation) yang selama ini menjadi ‘penyangga’ utama pendanaan JIL, bisa ditarik kesimpulan bahwa The Asia Foundation adalah jaringan ‘induk’nya. Dengan bahasa lain, JIL adalah ‘karyawan’ The Asia Foundation yang bertugas di lapangan, untuk menjalankan proyek-proyek besarnya.
The Asia Foundation, yayasan ini ditengarai banyak mendanai kegiatan-kegiatan dalam rangka penyebaran paham kapitalisme dan sejenisnya. Yang paling nampak mencolok keterlibatan The Asia Foundation bagaimana dia mem-back up Tim Pengarasutaman Gender (PUG) bentukan Departemen Agama, yang kemudian berhasil menyusun draf Kompilasi Hukum Islam yang isinya kemudian menimbulkan kontroversial.
Merujuk sebuah makalah yang berjudul CIA's Hidden History in the Philippines, Roland G. Simbulan, yang disampaikan pada ceramahnya di University of The Philipinnes (18 Agustus, 2000), mengutip dari tulisan seorang sosiolog Amerika, James Petras, yang dimuat dalam Journal of Contemporary Asia, menggambarkan, bagaimana LSM yang besar bisa dikendalikan --jika tidak didukung oleh pemerintah Amerika-- atau perusahaan raksasa yang dikendalikan agen-agen rahasia atau CIA yang ingin memanfaatkannya sebagai sarana penyamaran. Yang dimaksud Petras, hal itu untuk mengelabuhi dan menghindari konflik yang diakibatkan benturan langsung terhadap struktur resmi pemerintahan. Serta menghindari class analysis adanya penjajahan dan eksploitasi kapitalis.
Roland G. Simbulan juga menjelaskan bahwa yang memainkan peran CIA yang paling menonjol di Manila adalah The Asia Foundation. Pernyataan ini dinilai cukup valid, karena didasari oleh pernyataan seorang anggota Departemen Birokrasi Amerika, William Blum. Dalam sebuah resensi buku yang berjudul Asia Foundation is the principal CIA front, dalam salah satu buku seorang jurnalis investigasi majalah Times, Raymond Bonner, yang berjudul: Waltzing with a Dictator: The Marcoses and the Making of American Policy, menyatakan bahwa “Asia Foundation adalah bentukan dan kedok CIA!”. Ini semakin diperkuat oleh interview Roland G. Simbulan dengan seorang mantan mata-mata CIA yang beroperasi di Philipina pada tahun 1996, dimana ia aktif menggunakan yayasan ini (The Asia Foundation) sebagai agen. Bahkan secara terang-terangan pula diungkapkan dalam laporan tahunan The Asia Foundation, tahun1985, yang menyebutkan di dalamnya pernyataan Victor Marchetti, salah satu dari pimpinan deputy CIA, bahwa “Asia Foundation didirikan oleh CIA dan sampai 1967 mendapat subsidi darinya.” (Asia Foundation Annual Report, 1985). Jelas, bahwa LSM The Asia Foundation memang bentukan CIA, didirikan sebagai alat, dan sarana untuk memperluas dan mempermudah proses imperialisme Amerika Serikat terhadap Negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik dengan cara non konfrontatif.
Dari sini pulahlah, boleh jadi, JIL --setelah dilihat dari substansi ide yang diusung, serta pertnershipnya-- bahwa sesungguhnya aktifitasnya tidak ada hubungannya dengan Islam, tidak pula ada sangkut-pautnya dengan perbedaan metode penafsiran nash, pembaharuan, pencerahan, atau sifat kritis. Aktifitas JIL, sekali lagi --boleh jadi-- tak lain, merupakan kemungkinan aktivitas intelejen asing yang hendak menancapkan kuku-kuku imperialismenya di bumi umat Islam, umumnya dan Indonesia, pada khususnya. Benarkah demikian? Wallahu a’lam.
Kentalnya ide-ide pokok kapitalisme dan berbagai derivatnya ini, masih ditambah dengan suatu metode berpikir yang kapitalistik pula, yaitu menjadikan ideologi kapitalisme sebagai standar pemikiran. Meminjam bahasa Al Jawi, ide-ide kapitalisme diterima lebih dulu secara taken for granted dan dianggap benar secara absolut, tanpa pemberian peluang untuk didebat (ghair qabli li an-niqasy) dan tanpa ada kesempatan untuk diubah (ghair qabli li at-taghyir). Lalu ide-ide kapitalisme itu dijadikan cara pandang (dan hakim!) untuk menilai dan mengadili Islam.
JIL, Asia Foundation dan CIA
The Asia Foundation adalah LSM raksasa yang markas besarnya di San Fransisco. LSM ini memiliki 17 kantor cabang di seluruh Asia, termasuk Washington, D.C. Tahun 2003 kemarin, The Asia Foundation mengucurkan bantuan sebesar 44 juta USD dan mendistribusikan 750 ribu buku dan materi pendidikan yang nilainya berkisar mencapai 28 juta USD di seluruh wilayah Asia.
Sebagaimana dikutip situs resmi pemerintah AS, http://usinfo.state.gov, Oktober lalu –beberapa hari menjelang Pemilu di Afghan-- lalu, The Asia Foundation, membikin program The Mobile Theater Project, sebuah bioskop keliling. Dengan alasan pendidikan demokrasi --atau lebih tepat kampanye pemaksaan demokrasi— mereka berkeliling kampung untuk memutar film dengan ditonton sekitar 430.000 pemirsa.
Di Indonesia, dalam Pemilu 2004 kemarin, seperti diakuinya di situs http://www.asiafoundation.org/, lembaga ini ikut mendanai JPPR (JPPR atau Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat) dengan mempekerjakan 141.000 relawan dan melakukan training kurang lebih 70 ribu orang. Mereka bisa memanfaatkan radio dengan asumsi 25 juta pendengar, memanfaatkan TV yang ditonton 74 juta pemirsa, juga menguasai media cetak dengan perkiraan dibaca 3 juta orang.
Di Indonesia, keberadaanya sudah ada sejak tahun 1970. Mereka berdiri di balik program-program bernama; training keagamaan, studi gender, HAM dalam Islam, civic education di lembaga-lembaga Islam, pusat pembelaan perempuan untuk Islam (Muslim Women Advocacy), dan isu-isu pluralisme, paralalel dengan program-program JIL.
Jika dilihat berbagai agenda dan kegiatannya selama ini, ada korelasi antara agenda-agenda JIL dengan LSM Raksasa bernama The Asia Foundation.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa kehidupan kelompok ini amat tergantung pada kucuran dana dari The Asia Foundation. Dan karena donor yang amat besar dari LSM ini, maka JIL dalam waktu yang relatif singkat sudah bisa mendirikan Radio satelit pertama di Indonesia, Radio 68H, yang siarannya direlai puluhan pemancar radio di Indonesia, mampu membeli satu halaman penuh koran Jawa Pos, bahkan mampu menayangkan iklan-iklan di televisi dengan durasi yang panjang, semisal iklan “Islam Warna-Warni” yang akhirnya berhenti tayang karena somasi MMI, bahkkan bisa menghidupi kegiata-kegiatan mereka yang membutuhkan biaya besar. Jika ditilik dari sponsor utama (sebut The Asia Foundation) yang selama ini menjadi ‘penyangga’ utama pendanaan JIL, bisa ditarik kesimpulan bahwa The Asia Foundation adalah jaringan ‘induk’nya. Dengan bahasa lain, JIL adalah ‘karyawan’ The Asia Foundation yang bertugas di lapangan, untuk menjalankan proyek-proyek besarnya.
The Asia Foundation, yayasan ini ditengarai banyak mendanai kegiatan-kegiatan dalam rangka penyebaran paham kapitalisme dan sejenisnya. Yang paling nampak mencolok keterlibatan The Asia Foundation bagaimana dia mem-back up Tim Pengarasutaman Gender (PUG) bentukan Departemen Agama, yang kemudian berhasil menyusun draf Kompilasi Hukum Islam yang isinya kemudian menimbulkan kontroversial.
Merujuk sebuah makalah yang berjudul CIA's Hidden History in the Philippines, Roland G. Simbulan, yang disampaikan pada ceramahnya di University of The Philipinnes (18 Agustus, 2000), mengutip dari tulisan seorang sosiolog Amerika, James Petras, yang dimuat dalam Journal of Contemporary Asia, menggambarkan, bagaimana LSM yang besar bisa dikendalikan --jika tidak didukung oleh pemerintah Amerika-- atau perusahaan raksasa yang dikendalikan agen-agen rahasia atau CIA yang ingin memanfaatkannya sebagai sarana penyamaran. Yang dimaksud Petras, hal itu untuk mengelabuhi dan menghindari konflik yang diakibatkan benturan langsung terhadap struktur resmi pemerintahan. Serta menghindari class analysis adanya penjajahan dan eksploitasi kapitalis.
Roland G. Simbulan juga menjelaskan bahwa yang memainkan peran CIA yang paling menonjol di Manila adalah The Asia Foundation. Pernyataan ini dinilai cukup valid, karena didasari oleh pernyataan seorang anggota Departemen Birokrasi Amerika, William Blum. Dalam sebuah resensi buku yang berjudul Asia Foundation is the principal CIA front, dalam salah satu buku seorang jurnalis investigasi majalah Times, Raymond Bonner, yang berjudul: Waltzing with a Dictator: The Marcoses and the Making of American Policy, menyatakan bahwa “Asia Foundation adalah bentukan dan kedok CIA!”. Ini semakin diperkuat oleh interview Roland G. Simbulan dengan seorang mantan mata-mata CIA yang beroperasi di Philipina pada tahun 1996, dimana ia aktif menggunakan yayasan ini (The Asia Foundation) sebagai agen. Bahkan secara terang-terangan pula diungkapkan dalam laporan tahunan The Asia Foundation, tahun1985, yang menyebutkan di dalamnya pernyataan Victor Marchetti, salah satu dari pimpinan deputy CIA, bahwa “Asia Foundation didirikan oleh CIA dan sampai 1967 mendapat subsidi darinya.” (Asia Foundation Annual Report, 1985). Jelas, bahwa LSM The Asia Foundation memang bentukan CIA, didirikan sebagai alat, dan sarana untuk memperluas dan mempermudah proses imperialisme Amerika Serikat terhadap Negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik dengan cara non konfrontatif.
Dari sini pulahlah, boleh jadi, JIL --setelah dilihat dari substansi ide yang diusung, serta pertnershipnya-- bahwa sesungguhnya aktifitasnya tidak ada hubungannya dengan Islam, tidak pula ada sangkut-pautnya dengan perbedaan metode penafsiran nash, pembaharuan, pencerahan, atau sifat kritis. Aktifitas JIL, sekali lagi --boleh jadi-- tak lain, merupakan kemungkinan aktivitas intelejen asing yang hendak menancapkan kuku-kuku imperialismenya di bumi umat Islam, umumnya dan Indonesia, pada khususnya. Benarkah demikian? Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment
Mari tinggalkan komentar yang baik dan benar