Ikuti @Dayilmu
Kris memeriksa warga Orang Rimba
Jambi
Kristiwan, begitu nama lengkap pria lajang berdarah Jawa
ini. Sejak tahun 2008 silam, penyandang gelar Akademi Perawat ini lebih
memilih hidupnya untuk berbagi info dan penanganan kesehatan buat Orang
Rimba, sebuah komunitas suku pedalaman diProvinsi Jambi.
Kris, begitu sapaan akrabnya, sudah empat tahun ini bergabung dengan LSM Komunitas Konservasi Indonesia Warsi sebagai fasilitator kesehatan untuk Orang Rimba. Orang Rimba adalah komunitas penduduk yang tidak berbaur sebagaimana masyarakat umumnya. Orang Rimba hidup di belantara hutan kawasan taman nasional yang ada di Jambi.
Tugas Kris mulai dari memberikan penyuluhan tentang cara meningkatkan kualitas hidup melalui pola hidup sehat, penanganan gawat darurat kesakitan, hingga memfasilitasi Orang Rimba ke layanan kesehatan publik seperti Puskesmas, RS dan instansi terkait.
Banyak suka duka yang dialami pria kelahiran Semarang 22 Februari 1983 itu dalam menjalankan tugasnya. Berjalan kaki berjam-jam, naik dan turun perbukitan untuk menemui komunitas Orang Rimba, adalah bagian rutin pekerjaannya. Dalam perjalanan itu, Kris akan selalu dilengkapi dengan obat-obatan dan peralatan medis yang mungkin dibutuhkan Orang Rimba.
"Dahulu setiap sakit Orang Rimba lebih mengandalkan obat-obatan dari ramuan tumbuhan yang mereka temukan di rimba. Namun sejak terjadinya perubahan hutan, tumbuhan obatpun semakin sulit. Akibatnya Orang Rimba tak mampu lagi mengobati sakit yang ada pada mereka," tutur sang lokoter —demikian sebutan Orang Rimba terhadap tenaga kesehatan- dalam perbincangan dengan detikcom.
Untuk memperkenalkan pengetahuan kesehatan terhadap Orang Rimba bukanlah hal yang gampang. Selama ini masyarakat pedalaman ini hanya mengenal penanganan kesehatan lewat dukun. Pun dalam penanganan persalinan, dukun lebih banyak berperan aktif.
"Saya pernah ditolak ketika akan membantu proses persalinan. Alasan mereka sangat pantang ada orang lain, apa lagi di luar komunitas mereka, yang membantu proses persalinan," kata alumnus Akper Ngesti Waluyo Temanggung Jawa Tengah ini.
Menurut Kris, problem kesehatan buat Orang Rimba, kian hari bertambah beragam. Sekarang akibat pembukaan lahan (land clearing) air sungai berwarna cokelat ketika hujan, sedangkan ketika kemarau menjadi kering.
"Mereka tak bisa lagi langsung mengkonsumsi air seperti masa lalu, akan tetapi butuh perlakuan terlebih dahulu, dan untuk ini kita harus mengajari mereka cara mengolah air menjadi layak konsumsi," papar Kris.
Tak hanya itu, terbukanya hutan juga menyebabkan semakin sulitnya konsumsi pangan Orang Rimba. Akibatnya ketersediaan protein dan karbohidrat jauh berkurang, sehingga tak sedikit di antara mereka yang mengalami gizi buruk. Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya penanganan yang memadai.
Untuk membantu tugas-tugas lapangan, Warsi juga membentuk kader kesehatan. Kader merupakan Orang Rimba yang sudah mendapatkan kemampuan baca tulis kemudian dibekali dengan pengetahuan tentang kesehatan dan pemberian pertolongan pertama jika ada masalah kesehatan pada Orang Rimba.
"Misalnya jika ada penyakit muntaber yang menyerang Orang Rimba, kita sudah ajarkan kepada mereka untuk membuat oralit, kemudian membawanya ke Puskesmas terdekat," kata Kris.
Sebelumnya, fasilitator kesehatan juga melakukan pendekatan ke petugas Puskesmas. Sebab tanpa ada pendekatan terlebih dahulu, tidak jarang Orang Rimba akan ditolak.
"Awal-awalnya Orang Rimba sering ditolak di Puskesmas, jadi kalau mau ke Puskesmas kita harus dampingi," lanjutnya.
Orang Rimba sangat tidak terbiasa ke rumah sakit, apa lagi sampai menginap. Administrasi rumah sakit yang berbelit-belit juga membuat Orang Rimba malas berurusan dengan RS. Di lain pihak, rumah sakit juga enggan menangani Orang Rimba karena dianggap kumuh memiliki magic.
"Di sinilah peran kita melakukan pendampingan terhadap Orang Rimba dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Begitu juga kita juga memberikan pengertian kepada petugas kesehatan," jelas Kris.
Kris mengharapkan rumah sakit pemerintah memberikan pelayanan yang sederhana kepada masyarakat. Sebab jalur administrasi yang berbelit-belit, terutama pada masyarakat pengguna Jamkesmas, kadang membuat masyarakat enggan ke rumah sakit pemerintah.
"Kalau masyarakat desa saja kadang sudah jengkel, apa lagi Orang Rimba. Kita berharap pada pola yang lebih sederhana jika Orang Rimba mengunjungi rumah sakit, dari mulai pendaftaran pasien hingga bisa memperoleh obat, jangan dipersulit," harap Kris.
Selain itu yang juga penting adalah adanya dukungan pemerintah, baik kecamatan, kabupaten dan provinsi dalam melayani Orang Rimba. Mestinya tidak ada batasan administratif yang memisahkan Orang Rimba dengan pusat pelayanan kesehatan, sebab ada kelompok yang secara administratif tergabung ke kabupaten tertentu, namun secara akses akan dekat dengan kabupatan lainnya.
"Ini harusnya tak jadi penghalang untuk Orang Rimba mendapatkan pelayanan dan tentu juga diharapkan dukungan pendanaan yang memadai, apakah melalui program Jamkesmas ataupun Jamkesda," sebut anak kedua dari tiga bersaudara ini.
Hal lainnya yang juga penting dan mendesak untuk dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran pihak-pihak pelayanan kesehatan untuk mengunjungi kelompok-kelompok Orang Rimba, baik untuk memberikan pelayanan kesehatan langsung, atau pun memberikan penyuluhan.
"Dan juga penting adalah pelatihan dan penyuluhan dukun beranak. Selama ini sudah kita coba lakukan, namun tentu hasilnya akan maksimal jika di dukung oleh pemerintah," ujar Kris.
Kris, begitu sapaan akrabnya, sudah empat tahun ini bergabung dengan LSM Komunitas Konservasi Indonesia Warsi sebagai fasilitator kesehatan untuk Orang Rimba. Orang Rimba adalah komunitas penduduk yang tidak berbaur sebagaimana masyarakat umumnya. Orang Rimba hidup di belantara hutan kawasan taman nasional yang ada di Jambi.
Tugas Kris mulai dari memberikan penyuluhan tentang cara meningkatkan kualitas hidup melalui pola hidup sehat, penanganan gawat darurat kesakitan, hingga memfasilitasi Orang Rimba ke layanan kesehatan publik seperti Puskesmas, RS dan instansi terkait.
Banyak suka duka yang dialami pria kelahiran Semarang 22 Februari 1983 itu dalam menjalankan tugasnya. Berjalan kaki berjam-jam, naik dan turun perbukitan untuk menemui komunitas Orang Rimba, adalah bagian rutin pekerjaannya. Dalam perjalanan itu, Kris akan selalu dilengkapi dengan obat-obatan dan peralatan medis yang mungkin dibutuhkan Orang Rimba.
"Dahulu setiap sakit Orang Rimba lebih mengandalkan obat-obatan dari ramuan tumbuhan yang mereka temukan di rimba. Namun sejak terjadinya perubahan hutan, tumbuhan obatpun semakin sulit. Akibatnya Orang Rimba tak mampu lagi mengobati sakit yang ada pada mereka," tutur sang lokoter —demikian sebutan Orang Rimba terhadap tenaga kesehatan- dalam perbincangan dengan detikcom.
Untuk memperkenalkan pengetahuan kesehatan terhadap Orang Rimba bukanlah hal yang gampang. Selama ini masyarakat pedalaman ini hanya mengenal penanganan kesehatan lewat dukun. Pun dalam penanganan persalinan, dukun lebih banyak berperan aktif.
"Saya pernah ditolak ketika akan membantu proses persalinan. Alasan mereka sangat pantang ada orang lain, apa lagi di luar komunitas mereka, yang membantu proses persalinan," kata alumnus Akper Ngesti Waluyo Temanggung Jawa Tengah ini.
Menurut Kris, problem kesehatan buat Orang Rimba, kian hari bertambah beragam. Sekarang akibat pembukaan lahan (land clearing) air sungai berwarna cokelat ketika hujan, sedangkan ketika kemarau menjadi kering.
"Mereka tak bisa lagi langsung mengkonsumsi air seperti masa lalu, akan tetapi butuh perlakuan terlebih dahulu, dan untuk ini kita harus mengajari mereka cara mengolah air menjadi layak konsumsi," papar Kris.
Tak hanya itu, terbukanya hutan juga menyebabkan semakin sulitnya konsumsi pangan Orang Rimba. Akibatnya ketersediaan protein dan karbohidrat jauh berkurang, sehingga tak sedikit di antara mereka yang mengalami gizi buruk. Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya penanganan yang memadai.
Untuk membantu tugas-tugas lapangan, Warsi juga membentuk kader kesehatan. Kader merupakan Orang Rimba yang sudah mendapatkan kemampuan baca tulis kemudian dibekali dengan pengetahuan tentang kesehatan dan pemberian pertolongan pertama jika ada masalah kesehatan pada Orang Rimba.
"Misalnya jika ada penyakit muntaber yang menyerang Orang Rimba, kita sudah ajarkan kepada mereka untuk membuat oralit, kemudian membawanya ke Puskesmas terdekat," kata Kris.
Sebelumnya, fasilitator kesehatan juga melakukan pendekatan ke petugas Puskesmas. Sebab tanpa ada pendekatan terlebih dahulu, tidak jarang Orang Rimba akan ditolak.
"Awal-awalnya Orang Rimba sering ditolak di Puskesmas, jadi kalau mau ke Puskesmas kita harus dampingi," lanjutnya.
Orang Rimba sangat tidak terbiasa ke rumah sakit, apa lagi sampai menginap. Administrasi rumah sakit yang berbelit-belit juga membuat Orang Rimba malas berurusan dengan RS. Di lain pihak, rumah sakit juga enggan menangani Orang Rimba karena dianggap kumuh memiliki magic.
"Di sinilah peran kita melakukan pendampingan terhadap Orang Rimba dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Begitu juga kita juga memberikan pengertian kepada petugas kesehatan," jelas Kris.
Kris mengharapkan rumah sakit pemerintah memberikan pelayanan yang sederhana kepada masyarakat. Sebab jalur administrasi yang berbelit-belit, terutama pada masyarakat pengguna Jamkesmas, kadang membuat masyarakat enggan ke rumah sakit pemerintah.
"Kalau masyarakat desa saja kadang sudah jengkel, apa lagi Orang Rimba. Kita berharap pada pola yang lebih sederhana jika Orang Rimba mengunjungi rumah sakit, dari mulai pendaftaran pasien hingga bisa memperoleh obat, jangan dipersulit," harap Kris.
Selain itu yang juga penting adalah adanya dukungan pemerintah, baik kecamatan, kabupaten dan provinsi dalam melayani Orang Rimba. Mestinya tidak ada batasan administratif yang memisahkan Orang Rimba dengan pusat pelayanan kesehatan, sebab ada kelompok yang secara administratif tergabung ke kabupaten tertentu, namun secara akses akan dekat dengan kabupatan lainnya.
"Ini harusnya tak jadi penghalang untuk Orang Rimba mendapatkan pelayanan dan tentu juga diharapkan dukungan pendanaan yang memadai, apakah melalui program Jamkesmas ataupun Jamkesda," sebut anak kedua dari tiga bersaudara ini.
Hal lainnya yang juga penting dan mendesak untuk dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran pihak-pihak pelayanan kesehatan untuk mengunjungi kelompok-kelompok Orang Rimba, baik untuk memberikan pelayanan kesehatan langsung, atau pun memberikan penyuluhan.
"Dan juga penting adalah pelatihan dan penyuluhan dukun beranak. Selama ini sudah kita coba lakukan, namun tentu hasilnya akan maksimal jika di dukung oleh pemerintah," ujar Kris.
Sumber : DetikNews
No comments:
Post a Comment
Mari tinggalkan komentar yang baik dan benar