MENENGOK Medan
tempo dulu, kita harus melihat cerita awal Kesultanan Deli dan tentu
saja Kota Medan itu sendiri.Dalam buku The History of Medan tulisan
Tengku Luckman Sinar (1991), dituliskan bahwa menurut “Hikayat Aceh”,
Medan sebagai pelabuhan telah ada pada tahun 1590, dan sempat
dihancurkan selama serangan Sultan
Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada Raja Haru yang
berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar Muda tahun
1613, terhadap Kesultanan Deli.
Sejak akhir abad ke-16, nama Haru berubah menjadi Ghuri, dan akhirnya pada awal abad ke-17 menjadi Deli. Pertempuran terus-menerus antara Haru dengan Aceh mengakibatkan penduduk Haru jauh berkurang. Sebagai daerah taklukan, banyak warganya yang dipindahkan ke Aceh untuk dijadikan pekerja kasar.
Sejak akhir abad ke-16, nama Haru berubah menjadi Ghuri, dan akhirnya pada awal abad ke-17 menjadi Deli. Pertempuran terus-menerus antara Haru dengan Aceh mengakibatkan penduduk Haru jauh berkurang. Sebagai daerah taklukan, banyak warganya yang dipindahkan ke Aceh untuk dijadikan pekerja kasar.
Selain dengan Aceh, Kerajaan Haru yang makmur ini juga tercatat
sering terlibat pertempuran dengan Kerajaan Melayu di Semenanjung
Malaka. Juga dengan kerajaan dari Jawa. Serangan dari Pulau Jawa ini
antara lain tercatat dalam kitab Pararaton yang dikenal dengan Ekspedisi
Pamalayu.
Dalam
Negarakertagama, Mpu Prapanca juga menuliskan bahwa selain Pane
(Panai), Majapahit juga menaklukkan Kampe (Kampai) dan Harw (Haru).
Berkurangnya penduduk
daerah pantai timur Sumatera akibat berbagai perang ini, lalu diikuti
dengan mulai mengalirnya suku-suku dari dataran tinggi pedalaman
Sumatera. Suku Karo yang bermigrasi ke daerah pantai Langkat, Serdang,
dan Deli. Suku Simalungun ke daerah pantai Batubara dan Asahan, serta
suku Mandailing ke daerah pantai Kualuh, Kota Pinang, Panai, dan Bilah.
Ini adalah versi pertama
sejarah Medan. Artinya, tahun 1590 dianggap sebagai salah satu tonggak
kelahiran kota ini.
DALAM Riwayat Hamparan Perak yang dokumen aslinya
ditulis dalam huruf Karo pada rangkaian bilah bambu, tercatat Guru
Patimpus, tokoh masyarakat Karo, sebagai yang pertama kali membuka
“desa” yang diberi nama Medan.
Namun, naskah asli Riwayat Hamparan Perak yang
tersimpan di rumah Datuk Hamparan Perak terakhir telah hangus terbakar
ketika terjadi “kerusuhan” sosial, tepatnya tanggal 4 Maret 1946.
Patimpus adalah anak
Tuan Si Raja Hita, pemimpin Karo yang tinggal di Kampung Pekan (Pakan).
Ia menolak menggantikan ayahnya dan lebih tertarik pada ilmu pengetahuan
dan mistik, sehingga akhirnya dikenal sebagai Guru Patimpus.
Antara tahun 1614-1630
Masehi, ia belajar agama Islam dan diislamkan oleh Datuk Kota Bangun,
setelah kalah dalam adu kesaktian. Selanjutnya Guru Patimpus menikah
dengan adik Tarigan, pemimpin daerah yang sekarang bernama Pulau Brayan
dan membuka Desa Medan yang terletak di antara
Sungai Babura dan Sungai Deli.
Dia pun lalu memimpin desa tersebut. Oleh karena itu, nama Guru Patimpus
saat ini diabadikan sebagai nama salah satu jalan utama di Kota Medan.
Versi lain sejarah Kota
Medan ini hanya melahirkan ketokohan Guru Patimpus dalam berdirinya Kota
Medan. Versi ini tidak menghasilkan sebuah tanggal atau tahun.
***
MENURUT Hikayat Deli, seorang anak raja satu kerajaan di India yang bernama Muhammad Dalik, perahunya tenggelam di dekat Kuala Pasai sehingga ia terdampar di Pasai, daerah Aceh sekarang.
***
MENURUT Hikayat Deli, seorang anak raja satu kerajaan di India yang bernama Muhammad Dalik, perahunya tenggelam di dekat Kuala Pasai sehingga ia terdampar di Pasai, daerah Aceh sekarang.
Tidak lama sesudah ia
datang di Aceh, Sultan Aceh mengalami kesulitan untuk menaklukkan tujuh
laki-laki dari Kekaisaran Romawi Timur yang membikin kekacauan. Dalik
berhasil membunuh para pengacau tersebut satu persatu.
Sebagai penghargaan atas
keberhasilannya membunuh para pengacau tersebut, Sultan memberinya gelar
Laksamana Kud Bintan dan menunjuknya sebagai Laksamana Aceh. Atas
berbagai keberhasilannya dalam pertempuran akhirnya ia diangkat sebagai
Gocah Pahlawan, pemimpin para pemuka Aceh dan raja-raja taklukan Aceh.
Beberapa tahun kemudian,
Dalik meninggalkan Aceh dan membuka negeri baru di Sungai
Lalang-Percut. Posisinya di daerah baru adalah sebagai wakil Sultan Aceh
di wilayah bekas Kerajaan Haru (dari batas Tamiang sampai Sungai Rokan
Pasir Ayam Denak) dengan misi, menghancurkan sisa-sisa pemberontak Haru
yang didukung Portugis, menyebarkan Islam hingga ke dataran tinggi,
serta mengorganisir administrasi sebagai bagian dari Kesultanan Aceh.
Untuk memperkuat posisinya ia menikahi adik Raja Sunggal (Datuk Itam
Surbakti) yang bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti, sekitar 1632 M.
Pengganti Gocah, anaknya
yang bernama Tuanku Panglima Perunggit pada tahun 1669 M,
memproklamasikan berdirinya Kesultanan Deli yang terpisah dari Aceh,
serta mulai membangun relasi dengan Belanda di Malaka.
Berdirinya Kesultanan
Deli ini juga salah satu cikal berdirinya Kota Medan. Nama Deli
sesungguhnya muncul dalam “Daghregister” VOC di Malaka sejak April 1641,
yang dituliskan sebagai Dilley, Dilly, Delli, atau Delhi. Mengingat
asal Gocah Pahlawan dari India, ada kemungkinan nama Deli itu berasal
dari Delhi, nama kota di India.
***
BELANDA tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak. Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus. Tahun 1863 Kapal Josephine yang membawa orang perkebunan tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuijs, dari Firma Van Den Arend Surabaya mendarat di Kesultanan Deli. Oleh Sultan Deli, ia diberi tanah 4.000 bau untuk kebun tembakau, dan mendapat konsesi 20 tahun. Begitulah awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga kerja Cina, India, dan akhirnya Jawa untuk menggarap perkebunan-perkebunan Belanda.
***
BELANDA tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak. Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus. Tahun 1863 Kapal Josephine yang membawa orang perkebunan tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuijs, dari Firma Van Den Arend Surabaya mendarat di Kesultanan Deli. Oleh Sultan Deli, ia diberi tanah 4.000 bau untuk kebun tembakau, dan mendapat konsesi 20 tahun. Begitulah awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga kerja Cina, India, dan akhirnya Jawa untuk menggarap perkebunan-perkebunan Belanda.
Menurut bahasa Melayu,
Medan berarti tempat berkumpul, karena sejak zaman kuno di situ sudah
merupakan tempat bertemunya masyarakat dari hamparan Perak, Sukapiring,
dan lainnya untuk berdagang, berjudi, dan sebagainya. Desa Medan
dikelilingi berbagai desa lain seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi,
dan Merbau.
Medan sebagai embrio sebuah kota secara kronologis berawal dari peristiwa penting tahun 1918, yaitu saat Medan menjadi Gemeente (Kota Administratif), tetapi tanpa memiliki wali kota sehingga wilayah tersebut tetap di bawah kewenangan penguasa Hindia Belanda.
Medan sebagai embrio sebuah kota secara kronologis berawal dari peristiwa penting tahun 1918, yaitu saat Medan menjadi Gemeente (Kota Administratif), tetapi tanpa memiliki wali kota sehingga wilayah tersebut tetap di bawah kewenangan penguasa Hindia Belanda.
Kota Administratif Medan
dibentuk melalui lembaga bernama “Komisi Pengelola Dana Kotamadya”, yang
dikenal dengan sebutan Negorijraad. Berdasarkan “Decentralisatie Wet
Stbl 1903 No 329″, lembaga lain dibentuk yaitu “Afdeelingsraad Van Deli”
(Deli Division Council) yang berjalan bersama Negorijraad sampai
dihapuskan tanggal 1 April 1909, ketika “Cultuuraad” (Cultivation
Council) dibentuk untuk daerah di luar kota. Maka, tanggal 1 April 1909
ini sempat dijadikan tanggal lahir Kota Medan sampai dengan tahun 1975.
Pimpinan Medan Municipal Board saat didirikan tanggal 1 April 1909
(Stblt 1909 No 180) adalah Mr EP Th Maier, yang menjabat sebagai
pembantu Residen Deli Serdang. Namun, sejak 26 Maret 1975, lewat
Keputusan DPRD No 4/ DPRD/1975 yang didasari banyak pertimbangan,
ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1590.
***
MELIHAT sekilas sejarah Kota Medan, tampak bahwa sejak zaman kuno, zaman Kerajaan Haru, Medan sudah menjadi tempat pertemuan berbagai kultur bahkan ras seperti Karo, Melayu (Islam), India, Mandailing, dan Simalungun. Sebagaimana terlihat dalam paparan di atas, proses itu bukannya berkurang, bahkan semakin kompleks sejak dibukanya perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara yang menghadirkan kuli kontrak baik dari India, Cina, maupun Jawa.
***
MELIHAT sekilas sejarah Kota Medan, tampak bahwa sejak zaman kuno, zaman Kerajaan Haru, Medan sudah menjadi tempat pertemuan berbagai kultur bahkan ras seperti Karo, Melayu (Islam), India, Mandailing, dan Simalungun. Sebagaimana terlihat dalam paparan di atas, proses itu bukannya berkurang, bahkan semakin kompleks sejak dibukanya perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara yang menghadirkan kuli kontrak baik dari India, Cina, maupun Jawa.
Hingga saat ini, Medan, yang berarti tempat
berkumpul tersebut, masih menjadi tempat berkumpul berbagai ras dan
kultur yang berbeda-beda. Mengingat pengalamannya yang panjang sebagai
melting pot, tidak heran jika hingga saat ini Medan masih dikenal
sebagai daerah yang aman dari berbagai kerusuhan antaretnis. Semua ras
dan etnis di sini tidak ada yang ingin menonjol atau saling menjatuhkan.
Sumber : Ardhian Novianto, Harian
Kompas, Jakarta
http://www.silaban.net/2001/07/02/sejarah-medan-sejarah-multi-kebudayaan/
0 comments
Post a Comment
Mari tinggalkan komentar yang baik dan benar