[Dayilmu.blogspot.com]
Anda mungkin tak akan
lupa foto yang ada di buku sejarah. Kalau melihat gambar hitam putih ada
orang ditandu, kita langsung berpikir. Jederal Sudirman. Kini tandu
tersebut diabadikan di museum Museum Satria Mandala
Lalu bagaimana dengan nasib para pemikul tandunya? Berikut tulisan tentang nasib mereka yang saya ambil dari malangraya.web.id
sumber
Lalu bagaimana dengan nasib para pemikul tandunya? Berikut tulisan tentang nasib mereka yang saya ambil dari malangraya.web.id
Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia memang takkan pernah
dilupakan rakyat. Akan tetapi, tak banyak sosok pejuang yang bisa
diingat rakyat. Djuwari (82 tahun), barangkali satu dari sekian
banyak pejuang yang terlupakan. Kakek yang pernah memanggul tandu
Panglima Besar Jenderal Soedirman itu, kini masih berkubang dalam
kemiskinan.
Tepat pada peringatan proklamasi 17
Agustus, Malang Post berusaha menelusuri jejak pemanggul tandu sang
Panglima Besar. Djuwari berdomisili di Dusun Goliman, Desa
Parang Kecamatan Banyakan Kabupaten Kediri, kaki Gunung
Wilis. Kampungnya merupakan titik start rute gerilya Panglima Besar
Sudirman Kediri-Nganjuk sepanjang sekitar 35 km.
Dari
Malang, dusun Goliman bisa ditempuh dalam waktu sekitar empat jam
perjalanan darat. Kabupaten Kediri lebih dekat di tempuh lewat Kota
Batu, melewati Kota Pare Kediri hingga menyusur Tugu Simpang Gumul ikon
Kabupaten Kediri. Terus melaju ke jurusan barat, jalur ke Dusun Goliman
tak terlalu sulit ditemukan.
Sejam melewati jalur mendaki di pegunungan
Wilis, Malang Post pun tiba di pedusunan yang tengah diterpa kemarau.
Rute Gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman memang sangat jauh dari
keramaian kota. Titik start gerilya berada di kampung yang dikepung
bukit-bukit tinggi dan tebing andesit.
“Inggih leres, kulo
Djuwari, sampeyan saking pundi?” kata seorang kakek yang tengah duduk
sambil memegang tongkat di sudut rumah warga Dusun Goliman.
Melihat
sosok Djuwari tak nampak kegagahan pemuda berumur 21 tahun, yang 61
tahun lalu memanggul Panglima Besar. Namun dipandang lebih dekat, baru
tampak sisa-sisa kepahlawanan pemuda Djuwari. Sorot mata kakek 13 cucu
itu masih menyala, menunjukkan semangat perjuangan periode awal
kemerdekaan.
Sang pemanggul tandu Panglima Besar itu
mengenakan baju putih teramat lusuh yang tidak dikancingkan. Sehingga
angin pegunungan serta mata manusia bebas memandang perut keriputnya
yang memang kurus. Sedangkan celana pendek yang dipakai juga tak kalah
lusuh dibanding baju atasan.
Rumah-rumah di Dusun Goliman termasuk area
kediaman Djuwari tak begitu jauh dari kehidupan miskin. Beberapa rumah
masih berdinding anyaman bambu, jika ada yang bertembok pastilah belum
dipermak semen. Sama halnya dengan kediaman Djuwari yang amat sederhana
dan belum dilengkapi lantai.
“Sing penting wes tau manggul Jenderal,
Pak Dirman. Aku manggul teko Goliman menyang Bajulan, iku mlebu
Nganjuk,” ujar suami almarhum Saminah itu ketika ditanya balas jasa
perjuangannya.
Dia bercerita, memanggul tandu Pak Dirman
(panggilannya kepada sang Jenderal) adalah kebanggaan luar biasa. Kakek
yang memiliki tiga cicit itu mengaku memanggul tandu jenderal merupakan
pengabdian. Semua itu dilakukan dengan rasa ikhlas tanpa berharap
imbalan apapun.
Sepanjang hidupnya menjadi eks pemanggul
tandu Soedirman, keluarga Djuwari beberapa kali didatangi cucu Panglima
Besar. Pernah suatu kali diberi uang Rp 500 ribu, setelah itu belum ada
yang datang membantu. Pemerintahan yang cukup baik kepadanya adalah pada
zaman Soeharto, sesekali dia digelontor bantuan beras.
“Biyen
manggule tandu yo gantian le, kiro-kiro onok wong pitu, sing melu
manggul teko Goliman yaiku Warso Dauri (kakak kandungnya), Martoredjo
(kakak kandung lain ibu) karo Djoyo dari (warga Goliman),” akunya.
Perjalanan
mengantar gerilya Jenderal Soedirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi,
dengan dikawal banyak pria berseragam. Rute yang ditempuh teramat berat
karena melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang amat lebat.
Seringkali perjalanan berhenti untuk beristirahat sekaligus memakan
perbekalan yang dibawa.
“Teko Bajulan (Nganjuk), aku karo sing
podho mikul terus mbalik nang Goliman. Wektu iku diparingi sewek (jarit)
karo sarung,” imbuhnya.
Ayah dari empat putra dan empat putri itu
menambahkan, waktu itu, istrinya (sudah dipanggil Tuhan setahun lalu)
amat senang menerima sewek pemberian sang Jenderal. Saking seringnya
dipakai, sewek itupun akhirnya rusak, sehingga kini Djuwari hanya
tinggal mewariskan cerita kisahnya mengikuti gerilya.
“Pak Dirman pesen, urip kuwi kudu seng
rukun, karo tonggo teparo, sak desa kudu rukun kabeh,” katanya.
Dari
empat warga Dusun Goliman yang pernah memanggul tandu Panglima Besar,
hanya Djuwari seorang yang masih hidup. Putra Kastawi dan Kainem itu
masih memiliki kisah dan semangat masa-masa perang kemerdekaan. Ketika
ditanya soal periode kepemimpinan Presiden Soekarno hingga SBY, Djuwari
dengan tegas mengatakan TIDAK ADA BEDANYA
0 comments
Post a Comment
Mari tinggalkan komentar yang baik dan benar