[Dayilmu.blogspot.com]
Zaman sekarang tidaklah sama seperti Sukarno kecil yang kekurangan permainan. Ada banyak cara untuk menunjukkan status atau rasa syukur. Lalu, masihkah pendar dan suara petasan dibutuhkan?
Sempat menjadi bagian penting dalam
berbagai tradisi dan perayaan, petasan kian teredam.
LEBARAN mungkin takkan lengkap tanpa
petasan. Begitu pula yang dirasakan bocah kecil Kusno di Mojokerto.
Saat itu, menjelang lebaran, dia hanya bisa mengintip, dari lubang
udara kecil pada dinding bambu kamarnya, teman-temannya bermain
petasan. Hatinya pilu.
“Dari tahun ke tahun aku selalu
berharap-harap, tapi tak sekalipun aku bisa melepaskan mercon,”
keluhnya.
Betapa girang hatinya ketika seorang
kenalan ayahnya memberi hadiah berupa petasan. Itulah hadiah terindah
yang pernah diterimanya, dan takkan dilupakan Kusno kecil selamanya.
Kusno, bocah kecil itu, adalah Sukarno, proklamator dan presiden
pertama Indonesia.
Pengalaman masa kecil Sukarno, seperti
dikisahkan S. Kusbiono dalam Bung Karno: Bapak Proklamasi Republik
Indonesia, menunjukkan betapa petasan sudah menjadi permainan
anak-anak selama Ramadan dan Lebaran. Hingga kini, membakar petasan
seolah sudah menjadi tradisi. Bunyinya yang memekakkan telinga justru
menjadi daya tarik.
Tradisi membakar petasan, menurut
legenda yang tersebar di Cina, sudah dimulai sejak pemerintahan Dinasti
Han pada 200 SM, jauh sebelum penemuan bubuk mesiu. Ini berhubungan
dengan sosok makluk gunung bernama Nian. Setiap tahun baru Cina, Nian
keluar gunung, mengganggu perayaan tahun baru. Nian hendak memakan
mereka! Untuk mengusir Nian, penduduk kemudian membuat suara ledakan
dari bambu, yang mereka sebut baouzhu. Sejak itu petasan
dipakai dalam setiap perayaan maupun festival di Cina, termasuk Imlek
atau tahun baru Cina.
Petasan kemudian berkembang dengan
penemuan bubuk mesiu pada era Dinasti Sung (960-1279) oleh seorang
pendeta bernama Li Tian yang tinggal dekat kota Liu Yang di Provinsi
Hunan. Saat itu pula didirikan pabrik petasan yang menjadi dasar
pembuatan kembang api, yang memancarkan warna-warni dan pijar-pijar api
di angkasa. Sampai sekarang Provinsi Hunan masih dikenal sebagai
produsen petasan dunia.
Petasan lalu mengalami perkembangan.
Tak lagi menggunakan bambu tapi gulungan kertas. Ia juga merambah
Eropa melalui Marcopolo yang membawa beberapa petasan Cina ke Italia
pada 1292. Pada masa Renaissance, bangsa Italia mengembangkan kembang
api dengan warna-warni yang lebih memikat sebagai bagian dari perayaan
seni dan tradisi masyarakat Eropa. Italia dianggap sebagai negara
Eropa pertama yang memproduksi petasan dan kembang api.
“Italia memberikan kontribusi yang
besar bagi pengembangan petasan modern di dunia,” tulis John Roach dalam
National Geographic News, 4 Juli 2003.
Di Indonesia, kuat dugaan petasan
dibawa para pedagang Cina di Nusantara. Bahaya petasan membuat
penguasa VOC pada 1650 mengeluarkan larangan membakar petasan terutama
di bulan-bulan kemarau seperti Desember, Januari, dan Februari.
Petasan dianggap memicu kebakaran di kebun-kebun milik tuan tanah dan
pemerintah, serta rumah penduduk yang umumnya masih terbuat dari bambu
dan atap rumbia. Alasan lain yaitu faktor keamanan, penguasa VOC
sulit membedakan bunyi ledakan petasan dengan letusan senjata api.
Ketakutan VOC bisa dipahami karena
orang-orang Cina, sebagaimana ditulis Bakdi Soemanto dalam buku Cerita
Rakyat dari Surakarta, pernah menggunakan petasan sebagai
senjata perlawanan. Ceritanya, pada 30 Juni 1742, orang-orang Cina di
Surakarta merasa tak puas dengan perlakuan sewenang-wenang pengausa
terhadap orang-orang Cina di Batavia. Mereka melawan. Sri Susuhunan
Pakubuwono II, yang saat itu memihak Belanda, mengirimkan pasukan
keraton untuk meredam perlawanan itu tapi tak berhasil. Pasalnya,
orang-orang Cina menggunakan petasan! Banyak anggota pasukan keraton
lari terbirit-birit; mengira bunyi senapan. Kebingungan juga melanda
pasukan kompeni.
Larangan serupa juga diberlakukan
pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Indonesia setelah merdeka.
Tapi kebiasaan membakar petasan tetap saja sulit terbendung, terlebih
saat perayaan Tahun Baru, Imlek, dan Lebaran, juga dalam tradisi
masyarakat. Dalam pesta-pesta hajat seperti khitanan, perkawinan, dan
maulidan orang Betawi, misalnya, petasan meramaikan suasana. Sejarawan
Alwi Shahab menduga tradisi membakar petasan itu berasal dari tradisi
orang-orang Cina yang bermukim di Jakarta. Orang-orang Cina tempo
dulu biasa menggunakan petasan sebagai alat komunikasi untuk
mengabarkan adanya pesta atau suatu acara besar. Rentetan bunyi
petasan dalam sebuah pesta hajat dapat dijadikan sebagai simbol status
sosial seseorang di masyarakat. Ia juga menjadi penanda rasa syukur.
Tapi petasan pernah menjadi persoalan
politik yang pelik. Ceritanya, pemerintah Jakarta membikin “pesta
petasan” di Jalan Thamrin pada malam Tahun Baru tahun 1971. Gubernur
Jakarta Ali Sadikin menyulut petasan sebagai tanda dimulainya “pesta
petasan”. Berton-ton mercon dibakar malam itu. Sialnya, korban
berjatuhan. Seperti ditulis Tempo, 13 November 1971, 50-60
orang diangkut ke kamar mayat, bangsal-bangsal bedah, dan poliklinik.
Seorang warga Amerika juga menjadi korban dan dilarikan ke rumah sakit.
Presiden Soeharto kemudian turun
tangan, apalagi Idul Fitri akan segera tiba. Dalam Sidang Kabinet
Paripurna 12 Oktober 1971, presiden mengeluarkan serangkaian larangan
dan instruksi khusus soal petasan. Hanya petasan jenis "cabe rawit"
dan "lombok merah" yang diperbolehkan; itu pun harus bikinan dalam
negeri –dengan alasan menghemat devisa negara. Menteri Dalam Negeri
Amir Machmud lalu mengirimkan kawat kepada gubernur seluruh Indonesia,
antara lain tentang ukuran mercon yang diizinkan: “Tidak boleh lebih
panjang dari 8 cm, tidak boleh lebih lebar dari garis tengah 1 cm, dan
isinya tidak boleh berat dari 10 gram.” Amir Machmud juga tak lagi
mengeluarkan izin impor mercon. Kepala Polisi RI Komjen Polisi Drs
Moh. Hasan menginstruksikan semua pejabat polisi tertinggi di setiap
propinsi untuk menertibkan pemasangan dan pembuatan mercon.
Tempo juga melaporkan
bagaimana para pemimpin agama sudah kewalahan melarang petasan. Bahkan
Hamka hingga menteri agama pernah mencarikan ayat maupun hadist yang
mencegah orang membakar mercon. Imron Rosjadi SH, ketua IV NU, pernah
pula melarang orang Islam menyulut mercon dalam sebuah khotbah dua
tahun sebelumnya di Masjid Istiqlal, “tapi orang-orang melototkan
matanya pada saya.” Karena itulah, pada 22 Oktober 1971, bersama
Jenderal Maraden Panggabean selaku Panglima ABRI, Machmud berseru:
"Pemasangan petasan bukanlah suatu keharusan agama, pemasangan petasan
hanyalah suatu penghamburan uang yang tak berguna," tanpa mengutip
ayat Alquran atau kitab suci lainnya. Seruan itu disiarkan oleh RRI
dan pers ibukota.
Polisi merazia penjual dan pemilik
petasan, memusnahkan banyak petasan, tapi petasan impor tetap saja
masuk lewat pelabuhan. Produsen dan penjual petasan juga diam-diam
menjualnya. Setiap tahun, sekalipun ada larangan, razia, korban juga
selalu berjatuhan, petasan masih mewarnai suasana perayaan di
Indonesia, hingga kini.
Zaman sekarang tidaklah sama seperti Sukarno kecil yang kekurangan permainan. Ada banyak cara untuk menunjukkan status atau rasa syukur. Lalu, masihkah pendar dan suara petasan dibutuhkan?
0 comments
Post a Comment
Mari tinggalkan komentar yang baik dan benar