Ikuti @Dayilmu
Sore itu hujan rintik-rintik dan hari mulai gelap, adzan maghrib baru saja terlewati sekitar 25 menit yang lalu, aku masih terkungkung dibelakang kemudi mobil, menanti macetnya jalan yang luar biasa. Sebagai seorang karyawan, memang aku terbiasa melewati jalan macet seperti ini menuju pulang kerumah.
Sore itu hujan rintik-rintik dan hari mulai gelap, adzan maghrib baru saja terlewati sekitar 25 menit yang lalu, aku masih terkungkung dibelakang kemudi mobil, menanti macetnya jalan yang luar biasa. Sebagai seorang karyawan, memang aku terbiasa melewati jalan macet seperti ini menuju pulang kerumah.
Rutinitas sebagai kepala
rumahtangga mengharuskan aku menjalani hidup pergi pagi dan pulang
petang bahkan sampai malam jika pekerjaan menumpuk sangat banyak.
Selepas isya aku baru tiba dirumah, langsung mandi dan menikmati santap
malam yang dihidangkan istriku.
Tiba-tiba sikecil yang berusia 7
thn menghampiriku dan memberi sebuah hadiah berupa jam weker miliknya,
katanya ia ingin memberikan hadiah agar ayah disayang oleh Allah.
Aku terkejut dengan ucapannya,
“maksud kamu apa sayang?, ayah tidak mengerti."
“Ayah, aku ingin ayah disayang
Allah”, jawabnya lagi. “iya nak” kita semua ingin disayang Allah, bukan
cuma ayah, tapi juga kamu, ibu
dan kakak.
“Tapi aku, ibu dan kakak sudah
di sayang Allah, ayah belum”
”Dess”
Sesuatu yg tajam seperti menusuk
jantungku dan jantungku berdetak keras ketika si kecil berbicara
seperti itu. Aku berusaha menerka-nerka kemana arah pembicaraannya, dan
apa kesalahanku sehingga anakku bisa berbicara seperti itu. Adakah
selama ini kejahatan yang aku lakukan, aku tidak korupsi, juga tidak
mencuri. Aku selalu berbuat baik kepada ayah dan ibuku, bersilaturahmi
ke rumah saudara dan berbuat baik
kepada tetangga. Sungguh aku sangat bingung oleh pernyataan sibungsu
tadi.
“Begini ayah, berapa usia ayah
sekarang”, aku menjawab, 36 - 37” jawabku
“yah hampir 40 deh” Pungkasku.
“Selama usia itu ayah telah
melakukan yang terbaik untuk keluarga kita, memberi kami nafkah,
makanan, pakaian, rumah, kendaraan, sekolah, rekreasi dan lain-lain”.
“Ya, betul itu dan itu memang tugas ayah”
potongku.
“tapi ayah tidak memberikan yang
terbaik buat ayah, ayah melupakan diri ayah sendiri”, aku bingung
lantas menjawab. “Tentu tidak nak, ayah juga memberi makanan, pakaian,
kendaraan buat ayah sendiri” bela ku tak mau kalah.
“Ayah”, anakku mendekatiku
seraya berbisik. “Coba ayah hitung, berapa kali ayah meninggalkan sholat maghrib karena
kesibukan ayah, berapa kali sholat subuh kesiangan karena ayah
kelelahan, berapa kali ayah meninggalkan membaca alquran, belum lagi
berapa lama ayah tidak sholat berjamaah dimesjid dan lain-lain ayah...”
aku terdiam membisu tak mampu berkata apa-apa.
Melihat aku terdiam, anakku
meneruskan kalimatnya.
“Ayah,
tadi siang di sekolah, ustadzah bercerita tentang orang-orang yang
disayang Allah, orang-orang yang akan selamat selama hidupnya, mereka
adalah orang yang ketika mencapai usia empatpuluh tahun tetap dalam
keadaan beriman dan beramal sholeh.” Usia empat puluh itu merupakan
pangkalnya seseorang apakah akan selamat atau tidak” Jika di usia empat
puluh masih berbuat bermaksiat, kecil kemungkinan akan kembali kejalan
yang benar ayah.”,
“Ketika ustadzah bercerita, aku
teringat ayah dan aku menangis sedih. Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan
ayah, ayah hampir tak pernah mengajak kami sholat berjamaah, tak pernah
mengajari kami mengaji, tak pernah membangunkan kami sholat subuh, ayah
begitu asyik dengan dunia ayah, ayah begitu sibuk dengan pekerjaan
ayah, dan ayah membiarkan itu terjadi kepada kami. Untung ada ibu yang
mengingatkan kami, mengingatkan aku dan kakak untuk sholat dan mengaji.
Tapi aku ingin seperti anak-anak
lain ayah, yang begitu riang berangkat ke mesjid bersama ayahnya,
mengaji bersama dan berjamaah bersama-sama ayah. Ketika aku mendengar
cerita ustadzah, yang ku lihat adalah wajah ayah, wajah ayah yang murung
karena tidak disayang Allah, aku tak kuat membayangkan itu semua ayah,
karena aku sangat menyayangi ayah, dan aku ingin ayahku juga disayang
Allah, bukan cuma aku, kakak atau ibu”. Ayah, ambillah jam weker milikku
ini, agar ayah bisa membangunkan aku esok pagi-pagi dan kita bisa
sholat berjamaah bersama-sama esok hari.”
Air mataku mengalir deras, membasahi pipiku tiada henti,
hatiku berdegup kencang tak karuan. Ternyata selama ini aku hanya
memberikan nafkah dunia buat keluargaku, tetapi membiarkan kehidupan
akhiratku terbengkalai, aku juga tidak memberikan teladan yang baik buat
anak-anakku karena silaunya dunia yang menantangku untuk ditaklukan.
“Ya robbi, ampuni aku, ampuni diri ini yang telah tertipu oleh silaunya
materi”. “Nak, maafkan ayahmu, ayah telah mengabaikan kamu dan kakakmu
selama ini. Tuhan terimakasih kau kirim hidayah melalui anak
terkecilku”.
Seraya menghapus airmata aku
berkata kepada anakku, “Nak, jangan tunggu besok, sekarang saja kita
sholat berjamaah, mari kita
berwudhu, mumpung waktu isya baru saja masuk”, ajak kakak dan ibumu
bergabung bersama kita.” Anak ku pun tersenyum, terima kasih ayah, aku
sangat sayang sama ayah”
Kami pun segera melaksanakan
sholat berjamaah, aku saat itu merasa gerogi sekali, aku malu terhadap
diriku, apalagi terhadap anak dan istriku, tapi aku tak peduli, aku
lebih malu kepada Allah yg telah kulupakan selama ini.
Dalam suara parau, dalam
khusuknya doa, aku menangis tersedu-sedu, dan baru kali ini aku
merasakan sholat begitu khusuknya, begitu syahdunya.
Dalam sayup-sayup terdengar
suara lirih anak ku berdoa “robbighfirli waali-waalidayya warhamhuma
kama robbayani shogiiro” dan aku pun membalas “amin ya robb, kabulkan
doa anak ku..”
0 comments
Post a Comment
Mari tinggalkan komentar yang baik dan benar