Ikuti @Dayilmu
WowKeren.com - Badai matahari yang diperkirakan
beberapa ahli akhirnya melanda Bumi. Badai geomagnetis ini disebabkan
oleh letusan suar (flare) matahari yang terjadi Senin (23/1) dan
mencapai Bumi pada Selasa (24/1) malam waktu Indonesia. Meski kecil,
dampaknya masih berlangsung di Indonesia sampai hari ini.
"Dampaknya terhadap operasional satelit terasa hingga Rabu ini," tutur Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lapan, Prof. Dr. Thomas Djaludin, saat ditemui di Jakarta, Rabu (25/1). "Flare (ledakan) yang cukup kuat ini adalah pertama kali sejak Mei 2005 atau sejak tujuh tahun lalu."
Menurut Thomas, flare itu juga diikuti oleh CME (Coronal Mass Ejection), lontaran massa dari korona matahari. Terutama proton dengan kecepatan tinggi, yakni sampai 1.400 km/detik. Partikel bermuatan itu tampak seperti hujan salju dan disebut dengan CME halo. Karena partikel itu tampak seperti melingkupi seluruh piringan matahari.
"Lapisan ionosfera terganggu sehingga menimbulkan gangguan komunikasi radio pada 23 Januari sore," ungkap peneliti matahari dari Lapan Bandung, Clara Yono Yatini. "Namun, sejauh ini kami belum mendapat laporan gangguan dari masyarakat dan operator seluler."
Badai ini juga mempengaruhi belahan Bumi lainnya. Akibatnya, maskapai penerbangan Amerika Serikat Delta Air Lines, mengubah rute sejumlah penerbangan yang melewati daerah Kutub Utara. Penerbangan Senin (23/1) malam waktu setempat dari Hong Kong, Shanghai dan Seoul menuju Detroit, Amerika, juga terpaksa mengambil jalur lebih ke selatan.
Pemindahan rute itu dilakukan untuk menghindari efek negatif dari badai matahari terbesar dalam hampir satu dekade tersebut. Sebab radiasi ini juga mempengaruhi manusia yang berada di luar angkasa maupun di ketinggian, seperti di pesawat. Selain itu, radiasi juga berpotensi mengisolasi sistem komputer yang ada pada satelit Bumi, merusak sambungan listrik, dan mengganggu transmisi radio. (wk/mr)
"Dampaknya terhadap operasional satelit terasa hingga Rabu ini," tutur Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lapan, Prof. Dr. Thomas Djaludin, saat ditemui di Jakarta, Rabu (25/1). "Flare (ledakan) yang cukup kuat ini adalah pertama kali sejak Mei 2005 atau sejak tujuh tahun lalu."
Menurut Thomas, flare itu juga diikuti oleh CME (Coronal Mass Ejection), lontaran massa dari korona matahari. Terutama proton dengan kecepatan tinggi, yakni sampai 1.400 km/detik. Partikel bermuatan itu tampak seperti hujan salju dan disebut dengan CME halo. Karena partikel itu tampak seperti melingkupi seluruh piringan matahari.
"Lapisan ionosfera terganggu sehingga menimbulkan gangguan komunikasi radio pada 23 Januari sore," ungkap peneliti matahari dari Lapan Bandung, Clara Yono Yatini. "Namun, sejauh ini kami belum mendapat laporan gangguan dari masyarakat dan operator seluler."
Badai ini juga mempengaruhi belahan Bumi lainnya. Akibatnya, maskapai penerbangan Amerika Serikat Delta Air Lines, mengubah rute sejumlah penerbangan yang melewati daerah Kutub Utara. Penerbangan Senin (23/1) malam waktu setempat dari Hong Kong, Shanghai dan Seoul menuju Detroit, Amerika, juga terpaksa mengambil jalur lebih ke selatan.
Pemindahan rute itu dilakukan untuk menghindari efek negatif dari badai matahari terbesar dalam hampir satu dekade tersebut. Sebab radiasi ini juga mempengaruhi manusia yang berada di luar angkasa maupun di ketinggian, seperti di pesawat. Selain itu, radiasi juga berpotensi mengisolasi sistem komputer yang ada pada satelit Bumi, merusak sambungan listrik, dan mengganggu transmisi radio. (wk/mr)
0 comments
Post a Comment
Mari tinggalkan komentar yang baik dan benar